Rahasia Senang Kerja: Memahami Arti Bekerja

Selama ini kalau orang dewasa bekerja sesuai minat dan bakat yang dicintai, rasanya gimana sih? Apakah masih mengkhawatirkan pendapatan atau sudah enggak peduli sama nominal uang? Yang penting bekerja sesuai minat yang dicintai!

Continue reading “Rahasia Senang Kerja: Memahami Arti Bekerja”

Bagian 7: Plecing Kangkung dan Obrolan di Ruang Makan

Wangi ayam goreng ungkep, serta aroma sambal bercampur terasi mengudara di rumah Ninik Ami, memanggil rasa lapar. Di meja makan, ada plecing kangkung racikan Ninik Ami dan Tante Citra. Di sebelahnya ada ayam goreng dan nasi hangat.

“Yuk, makan… makan… Anja, Ratri“ ajak Tante Citra.

Continue reading “Bagian 7: Plecing Kangkung dan Obrolan di Ruang Makan”

Pameran di Jogja: Narasi Visual Tentang Keadaan di Sekitar Kita

Pernah enggak, sih? Kamu menikmati seni terus merasa antusias, sampai rasanya deg-degan! Entah karena karyanya terlalu out of the box, pesan yang disampaikan bagus banget, atau isi kepala tiba-tiba penuh dengan hayalan. Nah, itu yang aku rasakan.

Siang ini aku bersama Tata—kawanku— menikmati pameran Biennale bertajuk Titen di Taman Budaya, Jogja. Setelah sekian lama, akhirnya aku berkunjung lagi ke pameran. Beda deh, datang ke pameran pas usia remaja dewasa yang isi kepalanya… sedikit-sedikit terisi sama isu-isu sosial seperti isu tentang lingkungan, perempuan, masyarakat adat, dan budaya.

Continue reading “Pameran di Jogja: Narasi Visual Tentang Keadaan di Sekitar Kita”

Bagian 6: Hiruk Pikuk Absurd Jalan Raya Legian

Di Jalan Raya Legian Kuta, siang dan malam begitu jomplang. Beda banget deh, suasananya! Jalan Raya Legian di siang hari ya, hanya jalan aja, dengan toko, tempat hiburan dan restoran yang saling berdempetan di kanan dan kiri jalan.

Kalau jalan kaki siang-siang panasnya minta ampun dan kamu hanya akan menemukan spa yang baru buka, pegawai restoran masih bersih-bersih meja dan tempat hiburan yang tutup. Turis asing hanya lewat naik motor atau taxi. Masyarakat lokal pun seperti numpang lewat aja di jalan ini.

Sementara Jalan Raya Legian malam hari… sudah seperti pasar malam!

Continue reading “Bagian 6: Hiruk Pikuk Absurd Jalan Raya Legian”

Bagian 5: Kerempongan Berkain dan Keheningan Kuningan


Mata kami menatap dua kain di atas kasur, kain panjang yang sedari tadi sudah kami coba lilitkan di pinggang, mau dijadikan rok. Tapi belum juga berhasil. Kalau enggak melorot, ya terlalu kencang. Lebih parahnya lagi, malah terlihat seperti bapak-bapak sarungan.

“Gimana ini… masa kita engga bisa pakai kain, Rat“ tanyaku, masih menatap kain merah milikku.

Continue reading “Bagian 5: Kerempongan Berkain dan Keheningan Kuningan”

Bagian 3: Sebelum Hari Raya Kuningan

Dari warung Ibu Ugi, kami duduk di ruang tamu tempat penginapan. Isi pikiranku dan Ratri sudah pasti sama: hampiri pemilik penginapan, atau jangan ya? Kapan waktu yang pas? Siang ini atau nunggu nanti sore? Bimbang begini, soalnya ada secuil rasa takut di hati kami.

Ah, tapi kan, ingat! Ha-rus be-ra-ni. Berani adalah modal utama!

“Bli, pemilik penginapan ini bikin dan jualan banten ya?“ tanyaku, kepada Bli yang kemarin bantu angkat koper.
“Nggih, Ibu tu yang biasa ngebanten“ jawabnya, dengan logat Bali.

Continue reading “Bagian 3: Sebelum Hari Raya Kuningan”

Bagian 2: Penasaran Itu Wajib!

Bus yang membawa kami dari pulau Jawa sudah sampai di Bali, kami tak lagi terapung di atas laut. Namun kepala masih puyeng, mabok laut. Lantai ruang tamu di penginapan terasa bergelombang. Sebungkus nasi Jinggo di hadapan kami bergoyang-goyang.

Siapa yang enggak tau nasi Jinggo? Salah satu menu andalan nasi bungkus di Bali, porsinya pas buat sarapan, harganya murah meriah. Ini adalah sarapan yang tidak mungkin dibeli sama Bule, pasti yang makan warga lokal. Atau pendatang hemat seperti kami.

Continue reading “Bagian 2: Penasaran Itu Wajib!”

Bagian 1: Semuanya Berawal dari WhatsApp

Di zaman serba canggih ini, segala macam bisa dimulai dari obrolan WhatsApp. Salah satunya keinginan liburan yang bisa bertransformasi jadi… rencana bikin serial dokumenter.

Hah? Gimana? Bentar, gini… pada suatu malam yang indah, cerah dan biasa-biasa saja, aku mengobrol dengan sahabatku di WhatsApp. Kami bicara lewat telepon, awalnya ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya aku menceletuk “Pengen ke Bali, deh.“

Keinginanku keluar dari mulut begitu saja, kupikir itu tidak akan jadi kenyataan. Namun di sebrang sana, sahabatku dengan antusias menjawab “Ih, boleh mau tahun depan? Bikin aja agendanya.“

Mulai dari situ, kami makin ngalor-ngidul ngomongin Bali, hingga larut malam. Obrolan seharusnya berputar pada rencana liburan. Tetapi kami berdua sama-sama dilahirkan dari keluarga berprinsip: kalau liburan itu harus punya output, pokoknya harus ada ha-sil-nya. Maka, otak kami tidak semudah itu memikirkan liburan, hip-hip-hura-hura. Kami malah berpikir semakin jauh…

Lanjut baca!